APA PERLU SIH ADA STANDAR HARGA UNTUK BELANJA DI APBD

Lha ini dia masalah menarik yang sering harus diulang – ulang dijelaskan ke teman – teman media massa agar tidak menarik pikiran para penyidik untuk menuduh kita – kita ini menganggarkan proyek dengan nilai terlalu tinggi (mark up kalau istilah konco – konco wartawan, hiii serem banget !)

Gini lho yang saya tahu (mudah-mudahan bener, kalau salah mohon muuuaaaaf) :

  1. Memang benar bahwa dalam menyusun APBD harus ada acuan standar harga. Permendagri 13/2006 mengenalnya sebagai SSH (Standar Satuan Harga). Karena SSH dbuat 1 tahun sebelum akhirnya suatu anggaran disetujui dialokasikan dan akhirnya dapat dilaksanakan, maka pada saat anggaran tersebut akan dibelanjakan barangkali harga sudah pada naeek ! Makanya SSH dibuat dengan survey harga pasar dengan penambahan perkiraan inflasi untuk 6-12 bulan kedepan.
  2. Trus pada saat akan dibelanjakan, tentunya ada proses pengadaan barang/jasa kan ? Nah sebelum ditentukan berapa harga yang akan ditawarkan kepada penyedia barang/jasa maka panitia pengadaan harus mengecek dulu dengan harga pasar biar tidak kerendahan atau ketinggian nilainya. Jika harga di pasar lebih rendah dari plafon anggaran yang ada (biasanya dari SSH) maka dipakai harga pasar tadi + keuntungan yang wajar. Kalau harga dipasar lebih tinggi dari plafon anggaran ya tidak jadi belanja, GITU AJA KOK REPOT he he he.
  3. Nah, berarti kalau pada saat pengusulan/ penyusunan APBD ya tidak pas kalau ada yang teriak “terjadi mark up” nih di APBD, karena alokasi biaya yang dipasang di APDB sifatnya adalah plafon. Nanti pada saat pengadaan toh dilakukan penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS)/ Owner Estimate (OE) sesuai harga pasar. Apalagi jika pengadaan-nya dilakukan dengan methode eProcurement yang kompetitif dan tranasparan, harga akan terkoreksi lagi menjadi lebih rendah.
  4. Akhirnya kembali ke pertanyaan semula, “apa perlu sih ada standar harga untuk belanja di APBD ?” . Jawabannya ya “perlu dan harus”. Bahkan kalau bisa, daftar standar harga satuan tersebut tersedia di dalam suatu sistem informasi untuk penyusunan APBD, sehingga semua teman – teman dari berbagai SKPD (dinas-dinas) saat memasukkan usulan biaya komponen kegiatan tertentu, misalkan kertas 1 (satu) rim, maka harganya akan sama di setiap SKPD, jadi lebih baik kan seharusnya ?

Itulah yang sebenarnya harus dipahami ya ! jangan menafsirkan terlalu gegabah bahwa harga satuan tidak perlu dan bisa jadi ada mark up jika menetapkan standar harga yang terlalu tinggi..

Akhirnya, salam dan terima kasih.

39 thoughts on “APA PERLU SIH ADA STANDAR HARGA UNTUK BELANJA DI APBD

  1. Pak, dengan adanya SSH, SAB baik fisik dan non fisik kan Pemkot sebenarnya sudah bisa selesai membuat anggaran dalam waktu 1 minggu, bahkan kurang. Tetapi kenapa kok selalu di koran diberitakan kalau pemkot terlambat ngasih draft anggaran ke dewan?
    Daerah yang tidak menggunakan sistem secanggih di pemkot kok malah bisa duluan selesainya ?

  2. sekalian..biar gak lupa.
    Di ssh itu kok bisa ya ada barang yang sama, tapi kadang ada pajaknya, kadang tidak ada pajaknya. Mungkin kalau rekening-nya beda, pajaknya beda ya? tapi sepertinya ada juga yang barangnya sama, rekening sama, tapi ada RKA yang pakai barang ini ada yang berpajak, ada yang tidak.
    Bisa tidak hal ini dihilangkan di 2009 nanti. soalnya ini membuat bingung para programmer karena masih belum ber-pola, atau mungkin ada pola tapi kita belum jelas.

  3. wah harusnya kalau barangnya sama dan ada di rekening yang sama (biasanya di kelompok barang/jasa atau modal) maka ya ada tuh PPn-nya. Ini pasti karena polanya ndak jelas dari teman – teman bina program. Okey mas kita standar-kan lagi pola itu sekalian untuk yang 2009 ya, senin atau selasa kita ketemu di kantor dengan Bayu dan Adit plus daniel kecil (ada murid baru sebagai penambah darah tapi cari yang namanya sama dengan sampeyan he he he)

  4. Saya usul bagaimana kalau diadakan ‘tim rekening’ tugasnya memperbaiki semua yang berhubungan dengan rekening. mengecek rekening-rekeningnya komponen, mengecek rekening yang di rka, melakukan switch rekening dan sebagainya. Diberi login khusus hanya bisa melakukan hal2 yg berhubungan dengan rekening.

  5. Usul “DITERIMA BULAT – BULAT” mas Daniel. Akan kubentuk segera, dan team leadernya harus yang ahli dibidang itu, mungkin Bu Wiwik/ Bu Yus atau Bu Isnalita dari Unair (meskipun kerjanya ndak harus dikantor terus, kan bisa on line). Trims ya.

  6. Saya ingin bertanya, dalam pembuatan SSH sebaiknya mengacu pada peraturan mana?? Kemudian dalam SSH yang kita terbitkan apakah sudah mencakup PPN dan PPh barang tersebut?? Estimasi peningkatan harga dari barang mengacu pada apa??? Kemudian, sebaiknya SSH itu diterbitkan dalam satu tahun sebanyak berapa kali (per semester atau per tahun)??? Tahapan apa saja yang harus dilalui untuk pembuatan SSH tersebut???

  7. Mas Toni, salam kenal. Atas pertanyaan Mas Toni dapat saya jelaskan sebagai berikut.
    Dalam Permendagri 13/2006 maupun Permendagri 59/2007 memang tidak dijelaskan dengan detail bagaimana tahapan menyusun SSH. Kalau kami di Surabaya melakukan penyusunan SSH dengan cara melakukan survey lapangan atas harga dari berbagai jenis barang dan ongkos – ongkos jasa yang umum dipakai oleh SKPD. Hasil survey harga tersebut kita kelompok-kan ke dalam kelompok – kelompok barang/jasa yang mirip sifatnya dan kemudian kita tentukan standar harga-nya dengan menambahkan faktor perkiraan inflasi untuk 6 sampai 12 bulan kedepan sebagai estimasi peningkatan harga barang, toh nantinya saat pengadaan panitia pengadaan wajib mengecek kembali harga pasar atas berbagai komponen barang yang akan diadakan (= menyusun Owner Estimate/ OE). Perkiraan inflasi kita minta ke kantor BPS setempat. Langkah panitia pengadaan ini adalah sebagai bentuk koreksi jika ternyata inflasi tidak setinggi yang diperkirakan. Jadi kalau ada orang teriak – teriak menuduh bahwa pemda melakukan mark up ketika memasang alokasi anggaran atas dasar SSH yang dinilai terlalu tinggi adalah tidak berdasar. Kenapa begitu ? karena SSH tadi sifatnya plafon anggaran.
    Selanjutnya kami tidak memasang PPn di SSH barang. PPn kita pasang ketika item suatu komponen barang dipasang untuk mengisi RKA (Rencana Kegiatan/ Anggaran). Pertimbangan-nya karena kalau nanti akan dibuatkan suatu kontrak atas pengadaan barang tersebut dengan plafon yang ada di DPA (DIPA kalau Departemen), akan dibebankan PPn didalamnya. PPh jelas tidak kita pasang di SSH karena pajak tersebut melekat sebagai kewajiban bagi pegawai perusahaan yang mendapatkan pekerjaan dari pemda.
    Di Surabaya SSH diterbitkan biasanya 2 kali yaitu pada saat akan dimulainya penyusunan RKA untuk tahun anggaran depannya dan ketika akan dilakukan Perubahan APBD tahun anggaran berjalan.
    Okey sementara itu Mas yang bisa saya jelaskan, mudah – mudahan bermanfaat.
    Salam.

  8. pak sonhaji saya orang baru di lingkup penyusunan program pemkab jember, dapatkah anda membantu saya dalam mempelajari kegiatan SUNGRAM dengan cara instan, masalahnya saya betul-betuldari nol karena basic saya seorang penyuluh KB. trima kasih sebelumnya

  9. Pak Haris, buka saja postingan saya di “tentang kami”, disitu saya ceritakan komplit tentang apa yang kami kerjakan dari sisi tupoksi bagian bina program pemkot Surabaya. Kalau ada yang tidak jelas monggo pertanyaan-nya bisa lebih spesifik. Saya ya punya histori cukup manis di Jember. Karena saya sekolah di SMPN 3 Jember dan lulusan SMA Negeri 1 Jember. Ortu saya dulu juga pernah kerja di pemkab jember, jadi suasana sana masih terbayang samar – samar.
    Salam kenal ya Pak Haris.

  10. malem bapak.
    saya teguh kristiyanto, Kasi AnBut pada bidang aset DPPKAD Kab. Kebumen, saat ini baru menyusun SSH tahun 2009 (terlambat karena SOT baru).
    Kalau SSH 2009 pak Sonhaji udah jadi bolehkah minta soft copynya ?

    terimakasih.

  11. Malam Pak Teguh.
    Iya nih di tempat kami juga terlambat dan belum jadi SSH-nya. Masih ngebut terus. Kasus juga sama yaitu gara – gara struktur baru ala PP 41 he he he.

  12. Bambang – Desember 2008
    Selamat sore Pak
    Saya maunanya beberapa kewajaran pihak ke 3 mengambil keuntungan terhadap pengadaan Barang dan jasa pada Pemerintah Daerah kabupaten / Kota

    • Salam kenal buat Pak Bambang Irawan,
      Mengenai kewajaran pihak ketiga mengambil keuntungan terhadap pengadaan barang/jasa tidak pernah saya temukan regulasi yang khusus Pak. Tetapi saya pernah baca di lampiran Keppres 80/2003 tentang Penyesuaian harga yang saya kutipkan redaksi-nya sebagai berikut :
      Hn = Ho (a + b.Bn/Bo + c.Cn/Co + d.Dn/Do + ……… )
      Hn = Harga satuan barang/jasa pada saat pekerjaan dilaksanakan
      Ho = Harga satuan barang/jasa pada saat penyusunan harga penawaran
      a = Koefisien tetap yang terdiri keuntungan dan overhead.
      Dalam hal penawaran tidak mencantumkan besaran komponen keuntungan dan overhead, maka a adalah 0,15.
      Nah dari situ ada angka 15% yang diakui oleh keppres sebagai keuntungan dan overhead. Nah mengenai berapa prosentase untuk keuntungan dan berapa prosentase untuk overhead ya ndak diatur tuh, silahkan Bapak menela’ah lebih lanjut, mudah-mudahan bisa membantu ya, trm kasih.

  13. Saat kita sudah memakai harga b/j yang terendah, masih mungkinkah ada mark-up belanja suatu kegiatan?

    Mark-up masih mungkin terjadi. Melalui apa? Salah satunya adalah dengan menambah aktivitas di suatu kegiatan.

    Misalnya ada suatu kegiatan pelatihan yang sifatnya sangat tertentu, yang oleh karena sifat tertentu tersebut, sebenarnya tidak perlu ada TOT terlebih dahulu.

    Tetapi si perencana menambahkan acara TOT di dalam kegiatan pelatihannya. Akibatnya, sewa gedung, mamiri (makan minum ringan), mamirat (makan minum berat) serta honor peserta TOT dan pelatih TOT harus dianggarkan dalam kegiatan pelatihan tersebut. Nilai anggaran untuk TOT tersebut adalah besar mark-up di kegiatan tersebut.

    Apakah bila sudah tidak ada mark-up, maka kegiatan yang bersangkutan secara otomatis merupakan kegiatan ter-efisien untuk mewujudkan target kinerja?

    Belum tentu. Banyak jalan menuju roma. Salah satu jalan tersebut mungkin yang terpendek dan termurah, relatif daripada jalur lainnya.

    Begitu juga dengan kegiatan. Banyak cara untuk mewujudkan suatu target kinerja tertentu. Maka, analisis terhadap usulan kegiatan harus tetap dilakukan.

    Diskusi antara pengusul dan analisis dari tim teknis TAPD harus diperkuat sedemikian rupa sehingga pilihan kegiatan terpilih merupakan pilihan terbaik; memecahkan masalah tanpa masalahlah

    Saya, punya sedikit ide liar tentang bagaimana cara supaya SKPD 3E. Mohon kesediaannya untuk mengomentari tulisan:

    1. Jenjang Akuntabilitas Kinerja

    2. Alternatif Cara untuk Menjamin Kewajaran Usulan Belanja

    • Aduh terima kasih sekali diberikan pengkayaan konsep – konsep lho Pak. Dan ternyata yang menberikan adalah Pak Dosen yang lama tak bersua. Langsung Pak, tulisan-nya saya datangi, sekali lagi terima kasih.

  14. Boz, maaf ini rahasia (tapi ditulis terbuka apa adanya). Kini, sudah tidak dosen nih. Biasa aja. 🙂

    Sekarang simatupang! Lebih enak, bisa jalan-jalan (kalau ada yang ngajak jalan)

    BTW, kayaknya Kab/Kota di Kalimantan dan Indonesia bagian timur studi bandingnya ke Kota Surabaya ya. Koq tiap aku tonya-tanya di Daerah, selalu merujuk ke di kau. Bahkan Kab baru-pun merujuk ke dikau di Kota Surabaya (Jangan-jangan, kabupaten yang belum dimekarkan juga ya 😉 )

    Sukses ya boz.

    • Teman – teman sesama Pemda yang main ke Pemkot Surabaya cuma banding2-kan saja kok, soalnya kalau ngelihatnya ke Departemen menurut mereka benar-benar beda aturan main-nya (soalnya pemda hanya ikut 1 departemen yaitu depdagri he he he). Oh iya, SIMATUPANG itu apa ya maksudnya ? dulu rasanya pernah tahu tapi udah lupa dan teman2 saya tanyain ndak ada yang tahu. Salam buat tim yang dulu pernah bantu Bappeko dan maen ke tempat saya ya.

  15. Ikutan lagi ya Boz 😉

    Jadi, bagaimana agar potensi kecenderungan mark-up dapat dikurangi?

    1. Penyusunan SSH sedemikian rupa sehingga ia berisi daftar harga perolehan terendah di pasar lokal (setempat).

    Kalau SSH sudah yang terendah, maka saat dipakai di RKA ia akan menjadi harga tertinggi untuk kalkulasi kebutuhan belanja.

    Catatan: Hati-hati menetapkan harga jasa. Kadang, di suatu tempat di suatu masa, karena honor yang relatif kecil, banyak SKPD yang “memborongkan” pekerjaan bermuatan analitis ke pihak ketiga (Perguruan Tinggi, misalnya).

    Memang bagi SKPD itu akan mempermudah urusan; kita hanya diam (bermain game, barangkali), lalu laporan di buat oleh pihak ketiga. 😉

    Tetapi, cara seperti itu cenderung mematikan atmospher akademis atau pembelajaran di SKPD. Bisa jadi, SKPD tak pernah sebagai Learning Organization.

    2. Memperkuat analisis substansi kegiatan, baik secara manual maupun dengan Model ASB (= umumnya model matematis yang menghubungkan Input dengan Output kegiatan).

    Mengapa perlu? Kadang, ada kegiatan yang bernama sangat bagus, tetapi ketika ditanyakan “bentuk kegiatannya”, sang pengusul bingung menjawabnya. 😉

    Kalaupun tidak bingung, mungkin karena satu dan lain hal, si perencana menjadi asal usul, atau kalau usul, dia asal!

    Apanyakah yang perlu dianalisis? Gampangnya: analisislah keterkaitan (hubungan) sebab-akibat dari input ke aktivitas ke keluaran ke hasil hingga ke capaian program.

    Catatan: Istilah aktivitas tidak dikenal dalam RKA 2.2.1. Tapi kita perencana, harus mengetahuinya. Ia merupakan jawaban atas pertanyaan: bagaimanakah bentuk kegiatan usulanmu?

    IDEALNYA: di atas kertas (yaitu saat perencanaan = saat penyusunan RKA 2.2.1), kita sudah mendapatkan keyakinan yang memadai bahwa usulan tersebut adalah kegiatan yang 3E untuk target kinerja tertentu (yang sebelumnya disepakati dalam Renstra SKPD atau Renja SKPD).

    Cukupkah kedua hal itu saja?

    Kedua hal di atas perlu (necessary), perlu sekali, tetapi tidak cukup (not sufficient)!

    Perlu ada yang ketiga, yaitu: pembudayaan Akuntabilitas Kinerja

    Begicu barangkali Pak Boz …

    BTW, SIMATUPANG biasanya menjadi singkatan dari Siang Malam Tunggu Panggilan 😉

    Sukses ya !

    • Wah terima kasih tambahan ilmu-nya Pak Rusman ! jauh di mata dekaaaat dihati, buktinya : konsep – konsep terus diluncurkan buat saya dan para pengunjung blog yang sering mampir karena tertarik topik ini.

  16. Salam,
    mohon bapak bisa membantu saya untuk menjawab beberapa persoalan ini :
    1. Dalam Bidang Aset DPPKA sebaiknya Kasi-Kasinya diberinama apa?
    2. apakah pengadaan tidak boleh dilaksanakan DPPKA karena sudah terdelegasi ke SKPD?
    3.

    • Salam Mas Emza !
      Kalau masalah nama kasi2 yang ada di bidang Aset di DPPKA (kalau di Surabaya cuma DPPK karena Aset masih di bagian perlengkapan yang tetap dipertahankan) saya rasa disesuaikan dengan tupoksi yang sudah terdefisinikan saja.
      Bagian Perlengkapan di Surabaya diberi tugas oleh Walikota untuk menjadi koordinator proses pengadaan barang/jasa yang dalam hal ini difasilitasi di Unit Layanan Pengadaan (Procurement Unit) sebagaimana amanah Perpres 8 tahun 2006. Oh ya Procurement Unit ini adalah unit non struktural dibawah koordinasi Kabag Perlengkapan. Yang menjadi panitia pengadaan di Unit Layanan Pengadaan tersebut adalah para personil dari berbagai SKPD yang telah bersertifikat keahlian pengadaan yang dikeluarkan oleh Bappenas/ LKPP. Jadi dapat disimpulkan bagaimana yang bisa dilaksanakan di instansi Mas Emza kalau merujuk di Surabaya.
      Trims.

    • Depkeu tiap tahun menerbitkan standar harga untuk lingkup Departemen Pak. Demikian juga Pemkot Surabaya, karena permendagri 13/2006 mengamanatkan Kepala Daerah untuk membuat itu sebagai acuan penyusunan APBD. Nah kalau Pak Rudy bertugas di Pemda, maka Kepala Daerahnya di-ingatkan juga harus buat he he he. Mengenai cara membuatnya nanti bisa share informasi dengan kami di Surabaya …
      Salam buat Pak Rudy

    • Depkeu tiap tahun menerbitkan standar harga untuk lingkup Departemen Pak. Demikian juga Pemkot Surabaya, karena permendagri 13/2006 mengamanatkan Kepala Daerah untuk membuat itu sebagai acuan penyusunan APBD. Nah kalau Pak Rudy bertugas di Pemda, maka Kepala Daerahnya di-ingatkan juga harus buat he he he. Mengenai cara membuatnya nanti bisa share informasi dengan kami di Surabaya …
      Salam buat Pak Rudy

  17. Salam kenal Mas, saya Kadri Renggono, Kepala Bidang Anggaran Dinas Pajak dan Pengelolaan Keuangan Daerah. Salah satu tugas kami adalah menyusun standarisai harga barang dan jasa. Ada beberapa pertanyaan, mohon pendapatnya. (1) Apakah seluruh kebutuhan barang dan jasa perlu dituangkan dalam standarisasi harga barang dan jasa? dan (2) Bagaimana upaya yang dilakukan untuk meminimalisir permohonan di atas dan di luar standarisasi harga barang dan jasa yang diajukan oleh SKPD.
    Atas jawaban dan komentar diucapkan terima kasih

    • Salam kenal juga Pak Kadri.
      Kalau menurut saya semua kebutuhan barang dan jasa yang kira – kira komponennya akan dipakai sebagai usulan pada RKA ya mestinya distandarisasi-kan dan dituangkan dalam Peraturan Kepala Daerah. Nah jika permintaan komponen untuk menyusun RKA sudah melebar kemana – mana diluar standar ya tidak perlu dituruti kali ya Pak ?! Tim Anggaran harus tegas untuk memilah mana yang mungkin dianggarkan dan mana yang tidak. Begitu Pak saya kira, trims,

  18. ass.wr.wb.
    trims atas jawabannya dan selanjutnya kami ingin lagi menyampaikan beberapa pertanyaan menyangkut penghapusan khususnya kendaraan roda 4, berapa persenkah kondisi kendaraan r-4 yang sudah layak untuk dihapuskan berdasarkan cek fisik kendaraan oleh panitia penguji kendaraan daerah? dan apakah ada dasar (permen,pp,kepmen) persentase tersebut?
    Trims atas bantuannya.
    wasalam,

    • Waduh pak Emza, saya kurang berkompeten masalah pengelolaan barang daerah he he he. Cuman saya pernah dengar bahwa aset selain jalan itu mestinya ada penyusutan. Nah menurut kebijakan akuntansi di pemda pak Emza, berapa persen penyusutan per tahun ? nah itu mungkin dapat dipakai sebagai acuan untuk mengetahui nilai akhir dari suatu aset (misal kendaraan roda 4). Yang pernah saya tahu, kalau aset kendaraan bermotor atau mesin sudah lama (umur teknisnya hampir habis), maka biaya pemeliharaan makin besar dan kapasitas produksi-nya makin menurun. Konon menurut para pakar menajemen, lebih menguntungkan dan efisien ganti aset baru dan aset lama dijual. Apa bener begitu ? wah sekali lagi terpaksa saya harus bilang bahwa saya bukan ahlinya he he he.
      Salam.

    • Di Depdagri, tapi saya kurang paham di direktorat apa. Saya rasa PP No 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dan Permendagri No 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah dapat dipelajari terlebih dahulu untuk membentuk main frame kita. Jika sudah mulai ruwet baru berdiskusi dengan dengan teman – teman akuntansi sektor privat untuk benchmark karena agak – agak mirip juga sih sebenarnya, lagian akuntansi sektor publik hanya dikit orangnya (mungkin sedikit ada di UGM). Demikian, trims.

  19. Siang Pak, perkenalkan nama saya Redi saya mau tanya apa ada program BINTEK untuk seksi analisa kebutuhan pada dinas pendapatan pengelolaan keuangan dan aset daerah.

    • Selamat Siang Pak Redi, program bintek semacam yang Bapak sampaikan banyak diberikan oleh Depdagri, tapi saya ndak tahun persis kapan jadwalnya. Cuman kalau kami di Surabaya tanpa menunggu bintek, langsung saja kami mengembangkan konsep – konsep operasional atas regulasi dengan dibantu Perguruan Tinggi. Salam …

  20. Ass. Wr.Wb.
    Nanya dikit Pak,
    Bidang Aset di DPPKA direncanakan untuk dipisah menjadi kantor atau bagian tersendiri di sekretariat, bagaimana menurut Bapak apa memungkinkan dan menjadi lebih baik bilah dipisah, thanks

  21. Assalamu’alaikum
    pak mau tanya, klo dalam pelaksanaan/belanja barang ternyata harganya sudah naik atau lebih tinggi dari harga satuan yg tertera di SSH, bagaimana pak?

    • Wa’alaikum salam mbak Isty
      kalau menurut saya ya jalankan terus pengadaan dengan harga baru tersebut, karena SSH itu lebih pada satuan standar untuk penyusunan APBD, kalau memang di lapangan ada bukti lebih dari 3 dokumen yang nunjukkan harga sudah berubah naik, go a head saja lah ! maafin baru sempat balas karena kerepotan pekerjaan, ini longgar karean liburan panjang he he he

  22. pertanyaan bpk. emza abdillah menyangkut penghapusan khususnya kendaraan roda 4, berapa persenkah kondisi kendaraan r-4 yang sudah layak untuk dihapuskan berdasarkan cek fisik kendaraan dan apakah ada dasar (permen,pp,kepmen) dapat saya tanggapi, bahwa kami di DPPKA kab. Agam Sumbar bidang Aset sudah melaksanakan pelelangan kendaraan dinas roda 4 sebanyak 20 unit dan sampai saat ini berjalan lancar karena pelaksanaannya sudah sesuai dengan Permendagri 17 Tahun 2007 tntang Pedoman Pengelolaan Teknis Barang Milik daerah + Perda + Keputusan Bupati dan Peraturan lainnya yang mendukung

Tinggalkan Balasan ke Ir. HARIS MUSLIMIN Batalkan balasan