eGovernment, bisakah diterapkan ?

Kemarin saya mengisi semacam kuliah tamu di Universitas Surabaya (Ubaya) untuk adik – adik mahasiswa jurusan teknik informatika dan jurusan sistem informasi untuk topik eGovernment. Menurut kolega kerja yang menjadi dosen di jurusan tersebut, adik – adik mahasiswa tersebut masih awam tentang eGov, maksudnya bahwa mereka tidak tahu bayangan sama sekali bahwa di instansi pemerintah juga bisa diterapkan Information Technology (IT), bahkan di beberapa kantor sudah sangat maju implementasi IT-nya.. Dalam bayangan mereka kantor pemerintah itu ya tempat mengurus KTP dan harus datang sendiri dan harus bayar tips ini itu biar lancar, duuuh … kesian deh kami di pandang sebelah mata oleh para generasi muda bangsa he he he.

Akhirnya saya jelaskan di acara tersebut bahwa pemerintah daerah di kota mereka paham betul bahwa saat ini adalah era-nya DIGITAL ECONOMY. Menurut Turban, pada era ini “… conducting business in the digital economy means using web-based system on the internet and other electronic network to do transactions electronically …”. Saya sampaikan bahwa teman – teman birokrasi di Pemkot Surabaya sadar betul bahwa kalau ingin birokrasi ini tetap survive dalam melayani masyarakatnya maka harus juga memposisikan diri seperti pelaku lain di dunia global dalam bertransaksi yaitu menggunakan sistem elektronik menggunakan web base. Mereka bertanya apa saja sih transaksi yang dilakukan oleh Pemkot ? Saya jelaskan bahwa hampir semua lini dalam proses birokrasi terdapat transaksi yang sifatnya berkaitan langsung dengan uang maupun tidak. Nah, penggunaan sistem informasi secara elektronik, khususnya yang berbasis web untuk melaksanakan proses administrasi dan layanan publik oleh instansi pemerintah …inilah yang dikenal sebagai electronic government atau sering disebut eGov.

Yang menjadi benchmark kami untuk diterapkan di sistem eGov ya aplikasi – apikasi yang mendunia saat ini. Kami sangat ter-inspirasi dengan konsep ERP (Enterprise Resource Planning) yang mana sistem ini “attempts to integrate all departments and functions across a company onto a single computer system that can serve all those different departments’ particular needs …”. Seperti yang pernah saya jelaskan di beberapa postingan lalu, dari konsep ERP inilah muncul produk unggulan yang kami create dengan segala daya upaya yang kami beri title GRMS (government resource management system). Di dalam GRMS ini kami integrasikan eBudgeting – eProject – eProcurement – eDelivery – eControlling & ePerformance dalam satu kesatuan sistem informasi yang dapat melayani semua satker.

Salah satu audience ada yang bertanya tentang infrastruktur eGov. Terhadap pertanyaan ini saya jelaskan bahwa pengembangan e-government disuatu lembaga pemerintah, dilandasi oleh 4 (empat) infrastruktur utama, meliputi:

1. Suprastruktur e-government yang memuat antara lain e-leadership, SDM dan peraturan;

2. Infrastruktur jaringan yang memuat antara lain protokol komunikasi, topologi, teknologi dan keamanan.

3. Infrastruktur informasi yang memuat antara lain struktur data, format data, data sharing, dan sistem pengamanannya.

4. Infrastruktur aplikasi yang memuat antara lain aplikasi layanan publik, aplikasi antar muka (interface), dan aplikasi back office.

Termasuk yang menjadi perhatian peserta kuliah pagi itu adalah mengenai kendala dan solusi apa yang diterapkan oleh Pemkot Surabaya saat implementasi sistem eGov. Pertanyaan ini saya jawab sebagai berikut :

1. Perubahan budaya kerja dari manual ke elektronik;

2. Kekuatiran kehilangan kesempatan berkarir dengan model bekerja yang baru;

3. Mental “PNS gaji kecil tapi ceperan banyak” yang cenderung membuat jalur proses sendiri yang rumit (membuat banyak meja untuk urusan …);

4. Tenaga di bidang ICT di lingkup Pemda masih sangat langka

5. Data base masih jalan sendiri – sendiri, bahkan sebagian besar masih paperbase bukan paperless

Sedangkan solusi yang kami terapkan di Pemkot Surabaya antara lain :

1. Pemaksaan proses bisnis tertentu yang dikaitkan dengan kepentingan organisasi;

2. Pembuatan aplikasi SIM dilakukan sendiri melibatkan programmer internal + outsourcing (karena System Analys dari konsultan sering kesulitan menemukan apa maunya org internal);

3. Pemakaian beberapa software non lisensi seperti linux, postgress SQL dll untuk support;

4. Pembuatan infrastruktur jaringan antar Satker;

Ya begitulah cerita tentang pengalaman saya pertama kali ketemu adik – adik mahasiswa yang masih murni dan tidak aneh – aneh kalau tanya. Beda banget kalau mengisi seminar/workshop yang selama ini sering saya lakukan dan peserta-nya adalah para PNS, isi pertanyaan-nya tendensius terus he he he.

Okey, salam.

Inovasi Sistem Pengadaan untuk Transparansi dan Efisiensi.

Di-ingatkan teman kok sekarang jarang nge-post, maka saya post saja makalah saya saat diundang jadi pembicara pada acara di jakarta tentang pengadaan yang diadakan Bappenas dan ADB karena isinya masih sangat relevan. Makalah tersebut tentang Inovasi sistem pengadaan untuk transparansi dan efisiensi.

A. Latar Belakang

Salah satu unsur untuk mewujudkan Good Governance di era reformasi adalah keterbukaan atau transparansi dalam pemerintahan, oleh karena itu diperlukan adanya inovasi dan ide-ide baru yang dalam proses penerapannya tidak menyalahi aturan-aturan yang berlaku. Tantangan untuk mewujudkan inovasi tersebut adalah dengan memanfaatkan kehadiran teknologi informasi yang berbasis internet.

Dewasa ini hampir sebagian besar institusi pemerintah di pusat maupun di daerah mengaplikasikan teknologi informasi tersebut dengan membangun berbagai portal (website) dengan tampilan beragam dan menyediakan berbagai informasi yang berkaitan dengan tugas dan fungsi dari institusi yang bersangkutan. Hal yang demikian dikenal sebagai e-Government, yang diharapkan dapat mendorong terjadinya reformasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di mana transparansi kebijakan dan pelaksanaan otonomi daerah akan makin mudah dikelola dan diawasi

Salah satu bentuk penerapan dari e-Government adalah e-Procurement atau e-Tendering yang merupakan wujud hubungan government-to-bussiness (G2B) dari pemasok/ penyedia barang/jasa ke Instansi Pemerintah melalui internet dan wujud hubungan citizen-to-government (C2G) yang mana masyarakat mendapatkan akses untuk memantau proses pengadaan barang yang dilakukan oleh Instansi Pemerintah. Lewat internet ini, mekanisme pengadaan barang dan jasa dapat dilakukan secara on-line (real time). Sebagai bentuk generasi terbaru dari Supply Chain Management (SCM) atau biasa dikenal dengan istilah collaboration commerce, e-Procurement merupakan salah satu media yang sangat efektif untuk menekan pembiayaan proses lelang baik dari sisi penyedia barang/jasa maupun Instansi Pemerintah sebagai pengguna barang/jasa.

Pemerintah Kota Surabaya dalam upayanya mewujudkan Good Governance, sejak tahun 2003 telah membangun sistem berbasis portal yang digunakan untuk prakualifikasi lelang dengan serentak secara on-line (www.lelangserentak.com). Seiring dengan diberlakukannya Keppres 80/2003, pada akhir tahun 2003 sistem tersebut dikembangkan lebih lanjut menjadi e-Procurement dengan alamat portal www.surabaya-eproc.or.id yang digunakan untuk proses pelelangan secara penuh (mulai pendaftaran sampai dengan pengumuman pemenang) di Tahun Anggaran 2004 dan Tahun Anggaran 2005 ini.

Pengalaman menunjukkan bahwa ternyata tidak mudah menerapkan/ implementasikan sistem lelang serentak. Perubahan yang dicanangkan ternyata pada awalnya tidak semulus yang diduga. Sekalipun banyak dukungan publik terhadap pelaksanaan e-procurement, tetapi juga terdapat pihak yang berkeberatan. Namun dengan niatan untuk mewujudkan transparansi, maka program ini terus dikembangkan.

B. Dasar Hukum

Langkah mengembangkan program ini tentu didasari landasan hukum yang kuat. Hal ini dilakukan agar gagasan menuju kea rah yang lebih baik dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis. Secara hukum, landasan yang dipakai adalah:

1. UU Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi;

2. PP Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi;

3. Keppres Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang telah diubah ke-empat kalinya dengan Perpres Nomor 8 Tahun 2006;

4. Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi;

5. Peraturan Walikota Surabaya Nomor 50 Tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa secara Elektronik (eProcurement), yang kemudian tiap tahun diubah mengikuti peraturan perundang-undangan yang ada.

C. Konsep Dasar Implementasi

Tahun 2003, konsep ini mulai dilaksanakan. Jika sebelumnya proses lelang proyej dilakukan secara manual, maka tahun itu dilaksanakanlah lelang serentak melalui media elektronik (internet). Pelaksanaannya masih terbatas, hanya pada prose pra-kualifikasi saja. Dari proses ini diperoleh pelelang-pelelang yang berkualitas, karena telah melewati seleksi.

Selanjutnya, sejak tahun 2004 (setelah belajar dari pengalaman tahun sebelumnya) proses pengadaan barang/jasa dilaksanakan secara elektronik (eProcurement) secara menyeluruh. Artinya, mulai tahapan pengumuman lelang sampai dengan pengumuman pemenang lelang dilakukan melalui internet (secara online) melalui portal eProcurement. Pelaksanaan ini berlangsung seterusnya dengan perbaikan di berbagai lini hingga sekarang ini (tahun 2006).

Dengan menggunakan sistem eProcurement, panitia pengadaan menyiapkan data dan dokumen pelengkap (OE, RKS, gambar, dsb) kemudian diupload ke portal eProcurement, yang nantinya dokumen pelengkap tersebut akan dapat didownload (diambil) oleh penyedia barang/jasa melalui portal eProcurement juga, tanpa harus dating ke panitia pengadaan untuk meminta dokumen pelengkap paket pekerjaan yang dilelang. Setelah lelang diumumkan, maka panitia pengadaan melaksanakan aanwijzing, pembukaan sampul penawaran, proses evaluasi (administrasi, teknis, kewajaran harga dan kualifikasi) serta usulan calon pemenang ke PPK melalui portal eProcurement pada menu aplikasi panitia pengadaan. Kemudian pemenang ditetapkan oleh PPK berdasarkan hasil evaluasi panitia pengadaan, pada menu aplikasi PPK.

Dalam mewujudkan kelancaran proses pengadaan barang/jasa secara elektronik (eProcurement) perlu dibentuk sekretariat layanan eProcurement yang berfungsi sebagai admin sistem informasi dan fasilitator para user / stake holder (PPK-panitia pengadaan-penyedia barang/jasa) eProcurement.

Pada pelaksanaannya, pengadaan barang/jasa secara eProcurement telah mengcover tahapan-tahapan sesuai aturan yang ada. Mulai pengumuman lelang, pemilihan paket pekerjaan, aanwijzing, pembukaan sampul penawaran sampai dengan penetapan pemenang telah berdasar pada range-range waktu yang ada pada peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pelaksanaan sistem eProcurement.

Setelah lelang berjalan, penyedia barang/jasa melakukan proses penawaran, kemudian panitia pengadaan melakukan evaluasi sampai dengan mendapatkan calon pemenang yang dilaporkan kepada PPK untuk selanjutnya PPK menetapkan pemenang melalui portal eProcurement juga.

Apabila tahapan lelang sudah pada pengumuman pemenang, maka hasil dari pelaksanaan lelang dapat dilihat oleh semua masyarakat luas. Sehingga pada tahapan pelaksanaan pekerjaan yang dilelang, seluruh lapisan masyarakat dapat ikut serta mengawasi hasil pelaksanaannya.

D. Teknis Operasional Implementasi

1. Pembentukan Sekretariat Layanan dan Penyusunan SOP

Sebagai bagian dari stakeholder / pihak-pihak yang terkait dan berkepentingan dengan pelaksanaan lelang secara elektronik (e-Procurement), Sekretariat Layanan e-Procurement sangat mutlak dibutuhkan.

Keberadaan Sekretariat Layanan e-Procurement sangat diperlukan dengan maksud antara lain :

a) Menjadi pusat rujukan informasi atas hal ikhwal terkait teknis operasional berbagai pihak terkait pelaksanaan lelang secara elektronik ;

b) Menjadi pihak yang mengelolah data base dan sistem informasi e-Procurement yang dipakai dalam proses pelelangan ;

c) Menjadi fasilitator dan mediator antar pihak yang berkepentingan dalam proses lelang jika terjadi perselisihan pendapat atau perbedaan persepsi mengenai teknis operasional pelaksanaan lelang secara elektronik ;

Dengan adanya maksud didirikannya Sekretariat Layanan e-Procurement tersebut diharapkan dapat dicapai tujuan lebih jauh antara lain :

a) Ter-eliminasi-nya permasalahan lapangan pada saat pelaksanaan lelang secara elektronik ;

b) Pemercepatan implementasi pelaksanaan e-Procurement yang terintegrasi secara nasional ;

Dalam tugas menjadi fasilitator user/stake holder terkait pelaksanaan eProcurement, sekretariat layanan eProcurement menyusun Stándar Operasional Prosedur, yang antara lain mengatur tentang :

a) Pelaksanaan lelang online;

b) Perubahan data lelang sebelum diumumkan;

c) Perubahan data lelang setelah diumumkan;

d) Pembatalan data lelang sebelum diumumkan;

e) Pembatalan data lelang setelah diumumkan.

2. Standarisasi Layanan

Sesuai dengan maksud dan tujuan dibentuknya Sekretariat Layanan e-Procurement yang pada tugas pokoknya adalah bertugas memberikan layanan kepada pengguna (user) e-Procurement, maka Sekretariat Layanan e-Procurement ditargetkan untuk mempunyai standar mutu pelayanan sesuai standar internasional, yaitu Standar Manajemen Mutu ISO 9001:2000. Tujuan penerapan SMM ISO 9001:2000 adalah :

a) Meraih kepuasan pelayanan yang prima serta memenuhi semua peraturan yang berlaku melalui penerapan sistem yang efektif, termasuk didalamnya untuk selalu melakukan perbaikan berkelanjutan terhadap sistem serta jaminan kepuasan pelayanan yang prima dan pemenuhan terhadap peraturan yang berlaku tersebut.

b) Memelihara dan menerapkan sistem yang memenuhi persyaratan standar internasional Sistem Manajemen Mutu 9001:2000

c) Peningkatan kelancaran sistem pelayanan di e-Procurement

3. Pengendalian Keamanan Sistem eProcurement

e-Procurement merupakan sistem informasi tender berbasis IT, oleh karenanya keamanan sistem e-Procurement harus dikendalikan sesuai dengan standar dan menjamin kerahasiaan data. Proses pengendalian keamanan sistem e-Procurement antara lain :

a) Sertifikasi ISO 27001:2005 untuk menjamin kerahasiaan semua dokumen dan data base e-Procurement.

b) Enkripsi data penawaran 128 byte dengan menggunakan 2 key password yang dibuat oleh sistem.

c) Enkripsi password user 1 arah (sehingga tidak dapat di dekripsi).

d) Operating system e-Procurement menggunakan Linux.

e) Disaster Recovery, terdiri atas :

· Collocation;

· Replikasi data;

· Ruang backup;

· SSL (Secure Socket Layer).

E. Hasil Yang Telah Dicapai

Dengan penerapan eProcurement ini diperoleh hasil – hasil antara lain :

1. Penghematan :

· Kompetisi penawaran : Pemerintah Kota mendapatkan penghematan anggaran belanja sampai dengan 25 % dari rencana semula. Penghematan ini diperoleh melalui efesiensi karena kompetisi penawaran yang sehat dari para peserta lelang.

· Paperless : Sebesar tidak kurang dari 80% biaya pengadaan kertas kerja dan pemenuhan persyaratan serta penggandaan dokumen lelang dapat dihemat dengan sistem ini.

2. Percepatan Pelayanan :

· Pemenuhan target kinerja pelayanan : Dengan sistem Anggaran Berbasis Kinerja, penghematan anggaran dapat direalisasikan untuk penambahan target kinerja, misal : dari target sejumlah 100 unit kelas bangku sekolah menjadi 300 unit kelas bangku sekolah, demikian juga jalan, saluran dsb. Sehingga target pelayanan dapat dipercepat dan diperbanyak.

· Percepatan realisasi barang/jasa : Karena jadwal disetting dengan tepat maka realisasi penyelesaian proyek pengadaan barang / jasa dapat diwujudkan diawal atau tengah tahun.

3. Memperoleh award :

· Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi dalam kategori Region in a Leading Profile on Public Accountability pada 28 April 2004 ;

· eGovernment Award dari Majalah Warta Ekonomi pada tahun 2004

· Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi dalam kategori Region in a Leading Profile on Public Accountability pada 4 Mei 2005;

· eGovernment Award dari Majalah Warta Ekonomi pada tahun 2007

4. Terhindar dari tuduhan KKN : Panitia pengadaan dan jajaran pengguna anggaran akan terhindar dari tuduhan KKN karena seluruh proses dilaksanakan secara transparan.

5. Menyediakan kesempatan kerja : Bagi penyedia barang/jasa kategori kecil dan menengah tersedia kesempatan pekerjaan yang sangat luas. Lebih dari 91 % paket pekerjaan disediakan untuk perusahaan kecil dan menengah. Disamping itu perusahaan kategori kecil – 2 yang secara permodalan lebih rendah dibanding dengan perusahaan kecil -1 dapat memenangkan jumlah paket pekerjaan dan nilai paket pekerjaan lebih banyak dalam persaingan memperebutkan pekerjaan kategori kecil (nilai proyek < 1 Milyar).

F. Pengembangan Sistem e-Procurement

1. Supplemen system

a) eSourcing sebagai katalog elektronik, rujukan standar teknis barang/jasa publik bagi para user, salah satu source harga pasar u/ OE (dikembangkan dgn prinsip Supply Chain Management – SCM);

b) m-Procurement, sebagai pemenuhan life style para user yang mempunyai mobilitas tinggi;

c) Help Desk application, sebagai panduan bagi semua user untuk menggunakan aplikasi eProc;

d) IKP (Infrastruktur Kunci Publik), sebagai tools untuk pendukung transaksi elektronik ;

2. Kolaborasi Pembangunan Sistem Pengadaan Nasional

Dalam rangka mewujudkan pelaksanaan eProcurement yang terintegrasi, sebenarnya dapat dikembangkan kolaborasi antar instansi yang kompeten dibidang masing – masing dengan koordinasi Bappenas untuk mengembangkan layanan eProcurement secara nasional. Untuk itu Pemerintah Kota Surabaya akan mendudukkan diri pada garda terdepan untuk mendukung upaya ini.

G. Persepsi Stakeholder dan Ekspektasi Publik

Stakeholdres adalah pihak yang memetik manfaat dari proses lelang proyek Pemerintah Kota Surabaya. Mereka adalah yang sering disebut rekanan. Pada awalnya, mereka memberikan reaksi keras atas keberadaan program lelenag serentak melalui system elektronik ini. Tetapi, setelah memasuki tahun ke-3, pandangan mereka berubah. Survey yang dilakukan Pusat Kajian Komunikasi (Puskakom) Universtas Airlangga (2006) menunjukkan bahwa stakeholders sudah ”familiar” dengan sistem on-line tersebut.

Dalam survey juga terungkap tentang pandangan positif terhadap pencitraan Pemkot Surabaya. Berbagai dukungan dari masyarakat, akademisi dan media massa terus berdatangan. Ini berarti harapan/ ekspektasi publik terhadap praktek-praktek kecurangan harus dikikis bisa dibuktikan oleh pemerintah.

Sekalipun demikian, masih terdapat kendala yang masih harus diperbaiki. Dalam survey juga masih memperlihatkan bahwa pada level SKPD, bebrapa pimpinan masih memerlukan peningkatan kemampuan menahami falsafah transparansi dan mempraktekkan sistem on-line ini.

Media massa di Surabaya cukup kuat mengawasi pelaksanaan program e-Procurement ini. Dalam berbagai artikel, mereka mengupas tuntas pelaksanaan program ini. Tak jarang media massa juga mengkritisi kelemahan sistem ini, meski secara umum mereka juga sangat membantu dalam pempublikasian program ini. Bahkan, dari survey menunjukkan bahwa 18% para stakeholder menyatakan memperoleh informasi program e-procurement dari media massa.

Harus diakui bahwa dalam waktu 3 tahun ternyata masih banyak kekurangan yang harus dibenahi. Kritikan terhadap aspek isi atau tampilan e-procurement terus dibenahi. Kecepatan teknologi informasi menjadikan para aparat Pemkot terus menyesuaikan diri. Untuk mengimbangi percepatan pengetahuan itu, Pemkot juga merekrut orang-orang khusus yang memiliki ketrampilan TI.Ke depan, Pemkot terus akan membenahi sistem e-procurement dan berusaha terus menerus mengkomunikasikan sistem ini kepada masyarakat. Melalui seminar, workshop dan publikasi massa, dilakukan penyebaran informasi e-procurement. Tujuannya satu, agar transparansi sebagai roh terwujudnya pemerintahan bersih dapat terwujud. Membuat perubahan ke arah lebih baik memang memerlukan komitmen besar, memerlukan waktu dan tentu memerlukan dukungan dari semua pihak. Mulai harus meyakinkan roh transparansi kepada internal jajaran Pemkot, memberikan bekal ketrampilan pada aparat, menjelaskan kepada stakeholders, hingga menjelaskan kepada publik (juga media) tentunya memerlukan komitmen besar dari penyelenggara e-procurement. Kami semua (penyelenggara) meyakini, bahwa niat yang baik jika dikerjakan dengan kesungguhan pastilah akan membawa hasil yang baik pula. Tidak mudah memang, tapi program untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih rasanya wajib dijalankan.

Salam

IMPROVEMENT MANAJEMEN PENGADAAN DENGAN SCM (part 2)

Nyambung postingan kemarin tentang improvement manajemen pengadaan dengan SCM. Eeem sampai mana ya kemarin ?!. Oh ya, menurut Pak Ikak, kita tidak boleh pernah bosan memikirkan strategi pengadaan untuk mencapai hasil pengadaan yang sesuai mutu, jumlah, waktu dengan harga yang paling menguntungkan dan dapat dipertanggung jawabkan. Bagaimana caranya? Menurut Beliau, kita harus memikirkan tidak hanya proses lelang saja (termasuk dengan e-proc), tetapi keseluruhan manajemen rantai supply (Supply Chain Management). Diantara yang menjadi konsep Beliau tentang pengadaan berdasarkan keppres 80/2003 dan penerapan pengembangan di lapangan dikaitkan dengan SCM adalah :

  1. Kualitas pekerjaan adalah salah satu point penting yang harus dipikirkan untuk dicapai. Tetapi memang tidak cukup dengan melaksanakan lelang lalu kualitas terjamin. Sekali lagi, lelang hanya untuk menciptakan persaingan yang benar, yang memberi kesempatan luas bagi semua pelaku usaha, dan mendapatkan harga yang dapat dipertanggungjawabkan.
  2. Dalam kasus penyedia bersifat kartel, maka kita perlu strategi yang lain untuk tetap mendapatkan harga yang baik. Kasus jalan hotmix: Pendekatan yang umum, untuk pekerjaan jalan hotmix kita perlu kontraktor yang mengerjakan termasuk memperoleh materialnya. Tetapi, ada faktor kritis, yaitu ketersediaan AMP (Aspalt Mixing Plant) dan aspal pada suatu waktu di suatu daerah tertentu. Bila kebutuhan AMP dan aspal terjadi bersamaan di suatu waktu dan tempat, dipastikan harga sewa AMP dan aspal naik (ini hukum ekonomi secara umum yaitu supply and demand). Singkatnya, penjadwalan pelaksanaan pekerjaan untuk menjaga keseimbangan supply demand di suatu wilayah perlu dipikirkan. Jadwal perlu dipikirkan tidak mengikuti siklus anggaran yang umum yang mulainya januari februari misalnya.
  3. Pendekatan yang lain, alat termasuk AMP perlu dipikirkan kepastian ketersediaannya. Secara kebutuhan, volume penggunaan alat bisa tidak habis-habisnya. Sehingga, misalnya, pemda sendiri punya UPT yang menyewakan AMP, sehingga kontraknya adalah pengerjaan jalan. Alternatif pendekatan ini diperlukan karena penyedia sewa AMP yang terbatas akan mengurangi peluang persaingan yang sehat.
  4. Mutu pekerjaan tidak ditentukan oleh harga, tetapi oleh kualitas material yang digunakan, metode pelaksanaan pekerjaan, kecukupan ketrampilan pekerja (kalau perusahaan adalah pengalaman perusahaan), dan yang paling penting adalah Quality Assurance (di dalamnya ada unsur pengawasan). Dengan demikian, dalam pendekatan Supply Chain Management (SCM), semua aspek ini harus dipastikan sesuai dengan tuntutan owner. Untuk mengurangi resiko tidak tercapainya mutu pekerjaan yang diinginkan, maka suatu pekerjaan dapat dipecah-pecah ke dalam komponen-komponennya untuk memperoleh peluang menjamin mutu material, menjamin kesesuaian metode pelaksanaan dan menjamin dilaksanakannya quality assurance. Jadi tidak selalu diperlukan suatu standar yang ditetapkan kepala instansi/ Kepala Daerah, atau SNI. Kita sebagai owner dapat menetapkan spesifikasi teknis yang bahkan di atas standar.

Nah itulah pokok – pokok pikiran Pak Ikak yang bisa coba kita kembangkan bareng untuk meningkatkan kinerja pengadaan barang/ jasa dari sisi kualitas. Akan diadakan workshop di Surabaya tentang konsep ini pada tanggal 24 Juni 2008, tentunya Pak Ikak akan hadir untuk memberikan wawasan. Hadir pula Pak Ir. Edy Rahen dari Departemen PU dan Prof. DR. Nyoman Pujawan pakar SCM dari ITS. Silahkan kontak ke email saya (sonhaji@surabaya-eproc.or.id) atau lewat comment di tulisan ini kalau berminat nimbrung diacara tersebut, ndak bayar kok. Trims.

Salam.

IMPROVEMENT MANAJEMEN PENGADAAN DENGAN SCM (part 1)

Beberapa hari yang lalu saya berkomunikasi intensif dengan Pak Ir. Ikak G. Patriastomo, Kepala Bidang Perancangan Sistem Pengadaan di Bappenas. Beliau salah satu guru andalan kalau saya dan teman – teman di Surabaya atau daerah lain ingin mendalami keppres 80/2003. Dalam rangka upaya menyempurnakan sistem eProcurement yang lumayan bagus dari sisi transparansi dan kompetisi, maka pemanfaatan sistem kerja untuk bisa menjamin kualitas keluaran proyek / paket pekerjaan juga terus saya dan teman – teman lakukan. Untuk itulah saya tanyakan pada Beliau beberapa masalah sebagai berikut :

  1. Bahan untuk konstruksi, khususnya aspal dan paving stone yang paling banyak dipakai untuk proyek – proyek sangat fluktuatif harganya. Saat penawaran, peserta mendapatkan harga “x rupiah” dari agen aspal (AMP = Aspalt Mixing Plant), tetapi pada saat pengerjaan harga sudah melambung dan agen – agen aspal tsb kompak kalau menentukan harga. Sepertinya ada praktik kurang sehat di sini.
  2. Disamping itu, keberadaan bahan konstruksi tersebut (utamanya paving dan aspal mixed) di pasaran sering tidak tersedia cukup pada saat dibutuhkan. Para agen ini berdalih ndak berani stock banyak karena tidak ada kepastian akan dipakai meskipun kapasitas produksi mereka masih idle.
  3. Belum ada penetapan standar mutu bahan konstruksi yang dapat dipakai oleh perancang (konsultan perencana) dan pelaksana konstruksi serta pengawas (konsultan pengawas) guna memastikan bahwa hasil akhir dari pengadaan jasa konstruksi tersebut sesuai dengan yang diharapkan.
  4. Banyak rekanan yang tidak mempunyai modal cukup, sehingga mengandalkan uang muka dari kontrak yang ditandatangani.

Terhadap masalah tersebut saya tanyakan kepada Beliau tentang rencana solusi sebagai berikut :

  1. Lelang dilakukan untuk vendor bahan konstruksi yang dibutuhkan dalam jumlah banyak di instansi daerah, misal Aspal (bahan dasar aspal hot mix) dan paving. Kedua bahan konstruksi ini ditentukan standar teknisnya melalui SK Kepala Instansi guna menjaga mutu pekerjaan konstruksi. Standar ini mengacu kepada SNI dan standar lain yang bersesuaian dengan standar teknis pekerjaan konstruksi dari Departemen PU. Hasil lelang tidak hanya 1 vendor saja tapi bisa beberapa vendor yang produknya memenuhi spesifikasi yang disyaratkan dalam lelang. Prinsipnya meniru keberhasilan kiat Bappenas saat melakukan lelang penentuan media cetak untuk pengumuman lelang, yaitu Media Indonesia.
  2. Untuk paket – paket konstruksi yang membutuhkan bahan dasar paving stone dan aspal hot mix seperti pekerjaan overlay jalan dan pembangunan jalan paving stone di perkampungan harga satuan untuk bahan dasar tersebut mengacu kepada harga hasil lelang tadi. Jadi lelang paket – paket pekerjaan ini akan berkisar pada penawaran penggunaan tenaga kerja dan sewa alat saja. Nantinya pemenang lelang paket pekerjaan akan membeli bahan konstruksi (misal aspal atau paving) ke vendor pemenang lelang bahan konstruksi. Agar pemenang lelang paket pekerjaan tetap mendapatkan harga yang sama dan mutu yang sudah ditetapkan, maka kontrak vendor bahan konstruksi akan berlaku selama masa tertentu. Selanjutnya lelang paket2 pekerjaan yang menggunakan bahan dimaksud dan pelaksanaan konstruksinya akan dikoordinasikan agar berjalan pada waktu yang bersesuaian dengan masa kontrak vendor bahan konstruksi. Konsep operasional ini juga mengacu pada model penggunaan Media Indonesia oleh segenap instansi pemerintah yang mengumumkan lelang.
  3. Guna membantu para rekanan kecil yang mendapatkan pekerjaan pengaspalan dan pembangunan jalan paving, ada pemikiran bahwa rekanan kecil yang sudah memenangkan lelang lewat eProc atau ditunjuk langsung karena nilainya dibawah 50 juta dapat mengambil bahan konstruksi ke vendor – vendor pemenang lelang bahan konstruksi dan pembayaran-nya dihandel oleh BPR atau Bank lain yang diajak kerjasama dalam kerangka pemberian modal kerja kepada pemenang lelang paket pekerjaan/ perusahaan kecil yang ditunjuk PL. Selanjutnya rekanan ini akan membayar ke Bank tersebut saat menerima termin pembayaran. Tentunya masalah pembagian resiko akan diatur lebih lanjut agar para pihak ini sama – sama dapat menjalankan fungsi dan tugasnya sesuai aturan di sektornya masing – masing. Yang jelas kita ingin ada kepastian mutu pekerjaan, sehingga pelaksanaan eProcurement yang dituding mengarah pada ”jatuh – jatuhan harga” sehingga ”mutu pekerjaan diragukan” dapat dibuktikan tidak sepenuhnya benar.

Nah itu masalah terkini pelaksanaan pengadaan. Mengenai tanggapan dari Pak Ikak atas rencana solusi akan saya post secepatnya, soalnya sekarang sedang ditunggu rapat nih. Trims and …

Salam.

Manajemen pengadaan barang/jasa dengan ULP, case di Pemkot Surabaya

Sejak tahun 2008 ini pengadaan barang/jasa di lingkup Pemerintah Kota Surabaya dilaksanakan melalui Unit Layanan Pengadaan. Efektif sudah berjalan kurang lebih 2-3 bulan. Karena organisasi ini masih baru maka pembenahan juga terjadi disana – sini. Satu hal yang pasti bahwa implementasi pengadaan barang jasa secara elektronik (eProcurement) melalui ULP ya baru di Surabaya ini diterapkan. Biasanya pakai eProc saja atau ULP saja.

Bagaimana model pengelolaan-nya ? sebagai bahan informasi bagi instansi lain yang barangkali juga bermaksud menerapkan pola serupa, maka beberapa hal kecil tentang pengelolaan aktifitas di ULP dapat diceritakan sebagai berikut :

  1. Gedung ULP diupayakan ada tersendiri dan dapat mengakomodir kebutuhan ruang untuk para panitia pengadaan di lingkup ULP melaksanakan evaluasi, Aanwijzing dan pembukaan sampul (tiap kelompok panitia disebut sebagai GTP = Gugus Tugas Pelelangan).
  2. GTP dibentuk dengan mencari personil pilihan dari berbagai SKPD dengan memperhatikan sisi kompetensi (bersertifikat keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah yang dikeluarkan Bappenas) dan integritas (dipilih yang tidak punya track record buruk).
  3. Tata cara / prosedur standar proses lelang dengan eProc yang dilaksanakan melalui ULP disusun dengan memperhatikan batasan kewenangan dan tanggung jawab, khususnya antara GTP dengan PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) yang ada di masing-masing SKPD (Satker).
  4. Penggajian/ renumerasi dibuat dengan standar diatas rata – rata guna menjaga integritas para GTP saat menjalankan tugasnya.
  5. Perlu disediakan tenaga outsourcing untuk support GTP menjalankan tugasnya, misalkan dukungan melakukan survey harga pasar untuk nyusun OE/HPS. Catatan : kualifikasi SDM outsourcing ini haruslah memadai.
  6. Mekanisme penilaian kinerja ULP. Ini penting karena sebagai alat kontrol guna memastikan apakah ULP bekerja sesusai dengan standar dan target waktu/ keluaran yang ditetapkan.

Sementara demikian dulu, lama ndak nge-post jadi agak sulit nulis he he he. Jika ada yang kurang akan saya post lagi atau jika ada yang salah maka tulisan ini akan saya koreksi.

Salam.

Penerapan Knowledge Management di kantor pemerintah, perlukah?

Kita sering dipusingkan ketika ada rapat membahas sesuatu hal yang sudah pernah dirapatkan beberapa waktu sebelumnya. Seringkali kita tidak mengetahui apa yang menjadi resume rapat sebelumnya dan apa yang menjadi tugas instansi kita yang harus selesai dalam pada saat rapat tersebut. Jadi kadang kita harus ber-improvisasi, ber-salto di-udara tanpa data sambil senyum sana senyum sini agar peserta rapat percaya apa yang kita sampaikan he he he. Misalkan toh kita tahu masalahnya apa, kita sering sulit mencari berkas – berkas atau dokumen lain yang diperkirakan ada hubungan-nya dengan materi pada rapat tersebut.

Tapi apakah kita harus terus begitu ? di situasi serba sulit seperti sekarang, instansi pemerintah dituntut mengambil langkah dan keputusan yang cepat tapi akurat. Cuman kalau data pendukung untuk mengambil keputusan tidak komplit, keputusan yang diambil besar resiko-nya untuk bermasalah saat diterapkan. Lantas bagaimana ya enaknya ?

Saya pernah baca tentang Knowledge Management di bukunya Turban cs (Information technology for management). Di situ disebutkan bahwa suatu organisasi akan mempunyai kinerja yang “okey punya” kalau menerapkan knowlledge management system. Disarankan agar semua informasi dan pengetahuan dari seluruh komponen organisasi yang berasal dari aktifitas rapat – rapat harian, informasi mengenai peraturan – peraturan terbaru serta data – data lain yang menunjang agar dapat di-collect dengan suatu sistem informasi yang mudah untuk diakses oleh seluruh anggota organisasi dimanapun juga. Alhasil kalau sistem informasi tersebut (Knowledge Management System) ada dan dapat diakses oleh anggota organisasi guna keperluan rapat di management puncak (misalkan sil fulan staf organisasi dinas X harus paparan ke Sekda), maka kapasitas si Fulan pada saat rapat tersebut sudah merupakan gabungan dari pengetahuan seluruh anggota organisasi di dinas X. Wow !!! asyik kan !? jadi jika ada banyak rapat dalam 1 hari yang harus dihadiri oleh jajaran dinas X, maka siapapun staf dinas X yang hadir tidak jadi masalah, karena semua kemampuan staf sudah seragam.

Yaah itu teorinya sih ! membangun sistem informasi tersebut juga tidak begitu sulit, yang sulit adalah membiasakan teman – teman kerja kita untuk bekerja dengan pola baru tersebut he he he. Tapi tak apalah, namanya juga urun rembug. Silahkan mencoba.

Salam.

Sumbang Ide untuk atasi BBM naik

BBM sudah terbukti diputuskan naik harganya (sebelumnya kan masih wacana tapi sudah bikin resah semua orang). Mau berangkat sekolah sekarang bayar bemo jadi naik. Naik motor takut serempetan di jalan karena jumlah kendaraan di jalan saat ini sudah dalam jumlah yang tak terbayangkan beberapa saat lalu (soalnya kredit motor uamaaat suangaaat mudah). Mau naik mobil kok biaya bensin setiap bulan sudah tidak masuk akal (hampir 40% dari gaji dari para orang tua yang memilih naik angkutan umum maupun mobil pribadi tersedot lho untuk urusan mobilitas anggota keluarganya, kecuali para pengusaha yang tidak mengandalkan gaji, maka masalah biaya ini bisa dibebankan ke harga barang/jasa yang dia produk he he he). Tapi kalau untuk pegawai (PNS maupun pegawai swasta) bergaji tetap ? Aduuuuh biyuuung ! kok anteb tenan urip jaman saiki hik hik hik.

Tapi …, kita ndak boleh sedih berkepanjangan dan harus kita cari pemecahan masalah-nya. Sepertinya beberapa hal ini bisa menjadi pilihan terbaik dari kondisi – konsidi jelek yang ada (meskipun ada plus minusnya):

  1. Kita sekolahkan saja anak kita di sekolah yang letaknya paling dekat rumah. Kalau sekolah-nya konon tidak termasuk sekolah favorit ya kita curahkan sebagian waktu kita untuk support belajar anak – anak dirumah. Lha wong yang penting itu bagaimana mendidik anak jadi anak yang sholeh kok. Kalau anak bisa sholeh, bertanggung jawab dan mandiri maka prestasi akademik bisa terkejar dengan sendirinya.
  2. Usahakan istri belahan jiwa kita yang beraktifitas di rumah tetap produktif. Kita ciptakan suatu pekerjaan yang berbasis di rumah tapi menghasilkan uang, misalkan buka usaha catering, melayani pembuatan design seperti design rumah atau design baju, menulis buku atau artikel untuk dikirim ke majalah/ koran dan berbagai aktifitas lain.
  3. Pola kerja kita dikantor coba kita upayakan bisa berbasis on line. Sehingga meskipun tidak harus lembur tapi penyelesaian keluaran pekerjaan bisa diteruskan di rumah (tapi mungkin beberapa orang ndak suka ide ini, alasan-nya trus kapan waktu dan perhatian untuk yang dirumah ? he he he). Keuntungan lain adalah jika layanan di kantor pemerintah ini sudah berbasis on line maka masyarakat luas pengguna jasa ndak perlu juga harus datang ke kantor kita. Jika begini masalah BBM naik ndak begitu merisaukan tho ?!

Nah dari 3 ide sederhana ini saja, jika semua keluarga berpikir sama maka akan ada efek – efek positif secara agegrat diantaranya :

  1. Kemacetan akan berkurang sehingga polusi udara akan berkurang juga.
  2. Urusan masyarakat untuk keperluan-nya di kantor – kantor pemerintah jadi mudah, cepat dan murah.
  3. Urusan bisnis di sektor swasta jadi lebih cepat dan murah lho. Ndak perlu tuh nggaji pengirim surat untuk urusan administrasi, cukup lewat email atau EDP (electronic data processing) yang disepakati dipakai perusahaan dan para kolega bisnis. Akhirnya keuntungan usaha jadi meningkat. Asyik kan ?!

Opo maneh yo ? Wis pokok-nya dengan digital solution dan mem-block aktifitas anggota keluarga agar tetap dekat – dekat rumah sepertinya bisa memecahkan masalah – masalah tadi (meskipun bagi beberapa keluarga bisa signifikan dan beberapa keluarga yang lain ndak ada dampak sama sekali). Silahkan di pikir – pikir dululah barangkali cocok, ini kan cuma sumbang ide.

Salam.

Tentang eProject yang memudahkan manajemen pemda memantau aparat-nya melaksanakan APBD

Kemarin saat coffee morning yang diadakan oleh Bapak Walikota Surabaya dengan seluruh jajaran SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah = Dinas/Badan/Bagian), saya mendapat-kan tugas untuk menyiapkan data mengenai progress dan status pelaksanaan anggaran belanja dari semua SKPD, plus apa masalah masing – masing sub kegiatan sehingga penyerapan anggaran kok masih rendah ?!

Lha misalkan permintaan ini datangnya tahun lalu maka saya pasti bingung dan data yang ada cuma global saja sehingga tidak bisa ‘BUNYI’ dan tidak bermanfaat bagi para manajer pemkot. Tapi kemarin saya sangat senang karena data bisa tersaji lebih komplet berkat adanya aplikasi eProject.

eProject merupakan aplikasi lanjutan dari eBudgeting yang nantinya bermanfaat untuk data dasar proses eProcurement dan proses penyusunan kontrak + pencairan termijn pekerjaan di eDelivery.

eProject dibuat karena ter-inspirasi Keppres 80/2003 yang mengamanatkan agar ada informasi tentang paket -paket pekerjaan beserta kontrak – kontrak-nya. Dari sini timbul ide agar informasi seputar paket pekerjaan dilengkapi sekalian seperti :

  1. Jenis pengadaan untuk paket pekerjaan tersebut, mungkin lelang atau PL atau diswakelola. Nantinya info ini akan digunakan sebagai dasar untuk proses administrasi-nya.
  2. Kapan paket pekerjaan ini akan mulai diadakan.
  3. Kapan paket pekerjaan ini akan mulai dilaksanakan dan kapan akan selesai.
  4. Disamping itu direncanakan juga di eProject rencana pencairan keuangan dan penyelesaian SPJ-nya.

Kemudian, untuk memastikan bahwa pemaketan tadi sesuai dengan alokasi anggaran yang tersedia, maka data awalnya harus mengambil dari aplikasi eBudgeting. Ini penting agar tidak terjadi alokasi anggaran hanya 1000 rupiah tapi dibuat 3 paket pekerjaan senilai 1200 rupiah, nantinya siapa yang akan membayar 200 rupiah sisanya jika paket tersebut terlanjur dilelang dan pekerjaan selesai ? Ndak mungkin kan pemerintah daerah akan ngemplang ? he he he.

Nah, karena manajemen di pemkot Surabaya sangat “IT minded”, maka dengan meng-akses situs eProject Beliau – Beliau bisa mengetahui bahwa status hari ini seharusnya SKPD “X” sudah melaksanakan lelang sekian paket, kemudian sekian paket seharusnya selesai fisiknya dan mestinya sudah ada penyerapan anggaran sebesar sekian rupaih, asyik kan ?! kalau memang kinerja SKPD “X” buruk maka itu tinggal urusan dan kewenangan manajemen, apa itu menjadi tanggung jawab Ka. SKPD atau PPKm dibawahnya. Yang penting, Ka. SKPD harus menguasai eProject untuk memelototi kinerja PPKm-nya sebelum kinerja SKPD secera keseluruhan dipelototi oleh Manajemen yang lebih tinggi.

Okey, sementara sekian dulu info tentang eProject, mengenai bagan yang menunjukkan posisi eProject diantara aplikasi yang lain dapat dilihat di postingan tanggal 25 April lalu (Surabaya Improvement to Excellence Government Program) dalam bentuk file ppt. Kapan – kapan disambung lagi ya.

Salam.

Meningkatkan kinerja pengelola sistem eProcurement dari sisi integritas

Saya rasa membicarakan upaya untuk menjaga integritas panitia pengadaan saat menjalankan tugasnya dalam proses pelelangan adalah salah satu point penting untuk menciptakan sistem pengadaan yang bersih, transparan, akuntabel dan kompetitif. Mengapa begitu ? karena merekalah yang ada di garis depan proses lelang, sehingga kalau disisi ini “masih lemah” maka sebagus apapun sistem pengadaan yang dipakai (misal memakai eProcurement), maka lubang – lubang kecil KKN akan tetap ada.

Dari pengalaman pelaksanaan pengadaan secara elektronik di Surabaya, saya bisa ceritakan beberapa hal diantaranya :

  • Panitia pengadaan masih bisa di-interferensi oleh pimpinan struktural diatasnya (karena budaya bangsa kita yang ewuh pakewuh atau lemahnya batin untuk berani mengatakan sesuatu kebenaran meskipun itu pahit adanya). Solusi : ULP (Unit Layanan Pengadaan) dibentuk sehingga proses lelang terlepas dari SKPD. Semua panitia pengadaan (disebut sebagai GTP = Gugus Tugas Pelelangan) dipilih dari orang – orang yang berkompeten (lulus sertifikasi keahlian pengadaan barang/jasa dari Bappenas), dan SKPD akan sulit memilih GTP yang orang – orangnya bisa di-interverensi karena komposisi GTP adalah gabungan dari berbagai staf SKPD yang berlainan. Solusi ini dasarnya adalah Perpres nomor 8 tahun 2006 tentang perubahan ke-empat keppres 80/2003.
  • Besarnya godaan dari peserta lelang atau pihak – pihak lain yang ingin mengatur pelelangan dengan mengkondisikan sesuatu jauh – jauh hari dari tahapan proses lelang. Misalkan mengarahkan spesifikasi teknis agar mengarah ke persaingan yang tidak sehat. Solusi : para personil GTP di ULP ditraining mental batin-nya agar tahan godaan dengan di-iringi kompensasi honorarium yang memadai. Di Keppres 80/2003 pasal 8 disebutkan bahwa untuk mendukung pelaksanaan barang/jasa, Instansi Pemerintah ”wajib” menyediakan biaya administrasi proyek untuk honorarium panitia/pejabat pengadaan. Nah masalah ukuran memadai memang relatif, tetapi pemberian renumerasi berdasarkan beban kerja dan kelangkaan profesi/ keahlian sangat pas untuk teman – teman yang ditugaskan sebagai GTP di ULP (dasarnya Permendagri 13/2006 junc to Permendagri 59/2007). Pemberian renumerasi berdasarkan beban kerja maksudnya pemberian honorarium bisa diberikan berdasarkan banyaknya paket pekerjaan yang dilaksanakan lelangnya. Ibaratnya kita harus memberikan upah yang lebih besar kepada orang yang mengangkat batu seberat 10 kg dibanding yang mengangkat batu seberat 2 kg. Sedangkan pemberian renumerasi berdasarkan keahlian maksudnya bahwa orang yang lebih tinggi grade kelulusan sertifikatnya bisa diberikan honorarium relatif lebih tinggi. Ini akan mendorong PNS untuk berlomba – lomba menjadi pinter dan punya keahlian kalau ingin mendapatkan tingkat pendapatan/ kesejahteraan yang lebih baik, bukan dengan cara KKN. Asyik kan ?! dapat tambahan uang tapi halal dan sah secara hukum/ administratif.
  • Membentuk tim ahli dari beberapa praktisi hukum dan akademisi di bidang hukum dan teknis pekerjaan yang dilelang sebagai rujukan keputusan ULP. Ini penting untuk membentengi pikiran – pikiran aneh untuk keluar dari jalur peraturan dan spesifikasi teknis yang wajar dari benak para anggota GTP (anggota GTP jugaaa manusia he he he). Sehingga pimpinan di ULP bisa menjaga konsistensi para anggotanya dalam bertugas melaksanakan pelelangan.

Apalagi ya ? saya rasa sementara cerita tentang kiat – kita meningkatkan kinerja pengelola sistem eProc dari sisi integritas dicukupkan sampai disini, sampai ketemu lagi.

Salam.

APA PERLU SIH ADA STANDAR HARGA UNTUK BELANJA DI APBD

Lha ini dia masalah menarik yang sering harus diulang – ulang dijelaskan ke teman – teman media massa agar tidak menarik pikiran para penyidik untuk menuduh kita – kita ini menganggarkan proyek dengan nilai terlalu tinggi (mark up kalau istilah konco – konco wartawan, hiii serem banget !)

Gini lho yang saya tahu (mudah-mudahan bener, kalau salah mohon muuuaaaaf) :

  1. Memang benar bahwa dalam menyusun APBD harus ada acuan standar harga. Permendagri 13/2006 mengenalnya sebagai SSH (Standar Satuan Harga). Karena SSH dbuat 1 tahun sebelum akhirnya suatu anggaran disetujui dialokasikan dan akhirnya dapat dilaksanakan, maka pada saat anggaran tersebut akan dibelanjakan barangkali harga sudah pada naeek ! Makanya SSH dibuat dengan survey harga pasar dengan penambahan perkiraan inflasi untuk 6-12 bulan kedepan.
  2. Trus pada saat akan dibelanjakan, tentunya ada proses pengadaan barang/jasa kan ? Nah sebelum ditentukan berapa harga yang akan ditawarkan kepada penyedia barang/jasa maka panitia pengadaan harus mengecek dulu dengan harga pasar biar tidak kerendahan atau ketinggian nilainya. Jika harga di pasar lebih rendah dari plafon anggaran yang ada (biasanya dari SSH) maka dipakai harga pasar tadi + keuntungan yang wajar. Kalau harga dipasar lebih tinggi dari plafon anggaran ya tidak jadi belanja, GITU AJA KOK REPOT he he he.
  3. Nah, berarti kalau pada saat pengusulan/ penyusunan APBD ya tidak pas kalau ada yang teriak “terjadi mark up” nih di APBD, karena alokasi biaya yang dipasang di APDB sifatnya adalah plafon. Nanti pada saat pengadaan toh dilakukan penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS)/ Owner Estimate (OE) sesuai harga pasar. Apalagi jika pengadaan-nya dilakukan dengan methode eProcurement yang kompetitif dan tranasparan, harga akan terkoreksi lagi menjadi lebih rendah.
  4. Akhirnya kembali ke pertanyaan semula, “apa perlu sih ada standar harga untuk belanja di APBD ?” . Jawabannya ya “perlu dan harus”. Bahkan kalau bisa, daftar standar harga satuan tersebut tersedia di dalam suatu sistem informasi untuk penyusunan APBD, sehingga semua teman – teman dari berbagai SKPD (dinas-dinas) saat memasukkan usulan biaya komponen kegiatan tertentu, misalkan kertas 1 (satu) rim, maka harganya akan sama di setiap SKPD, jadi lebih baik kan seharusnya ?

Itulah yang sebenarnya harus dipahami ya ! jangan menafsirkan terlalu gegabah bahwa harga satuan tidak perlu dan bisa jadi ada mark up jika menetapkan standar harga yang terlalu tinggi..

Akhirnya, salam dan terima kasih.